TEMPAT IBADAH AGAMA BUDDHA

Selamat datang di blog saya, 
Bila bermanfaat Sharelah pada Teman Anda.
Silahkan berkomentar di bawah postingan 
berupa saran yang membangun kreatifitas saya. 
Like, Share, dan Comment 
Terima Kasih atas kunjungan Anda ;) 
---------------------------------------------------------
MARI KITA MENGENAL IDENTITAS AGAMA BUDDHA

Umat Buddha beribadah di Cetiya,
Umat Buddha beribadah di Vihara,
Umat Buddha beribadah di Mahavihara,
Umat Buddha beribadah di Candi.

1.      CETIYA
Cetiya lebih kecil daripada Vihara. Dalam cetiya ada altar Buddha. Kita beribadah menghadap altar.
Cetiya dalam agama Budha, berarti tempat pemujaan atau tempat koleksi objek pemujaan, sehingga layak diterjemahkan sebagai altar. Secara etimologi, kata cetiya atau caitya (Sanskerta) berasal dari kata c/7/ berarti gundukan tanah atau tumpukan bata yang berkaitan dengan makam. Cetiya ada hubungannya dengan thupa (Sanskerta, sthupa) yang berbentuk gundukan dan berfungsi tempat peninggalan yang dikeramatkan Budha, Arahat, Bodhisattva, atau makhluk suci lainnya. 

Stupa adalah sebutan Budha untuk tempat relik yang dihormati. Untuk menggambarkannya, Budha menanggalkan jubahnya, kemudian dilipat empat persegi dan digelar di atas tanah. Di atasnya ditengkurapkan mangkuk sedekahnya dan di atas mangkuk didirikan tongkatnya.

Sejalan perkembangan agama Budha, istilah cetiya lebih religius, sedangkan stupa tetap pada arti semula. Berdasarkan pengertian ini, kegiatan pemujaan cetiya, selain pemujaan stupa, juga berarti mempersembahkan sajian atau pujian ke hadapan Budha atau makhluk suci lainnya. Dalam perkembangan agama Budha, kegiatan ini menduduki tempat penting berkaitan dengan upaya kebebasan penderitaan, khususnya bagi aliran Mahasanghika, cikal bakal kelompok ajaran Mahayana dengan salah satu subalirannya, Lokottaravada atau Caityaka, yang mementingkan pemujaan ini.

Pergeseran arti “kata ini diikuti perubahan bentuk cetiya atau stupa, terutama setelah dipakai di tempat berlainan. Sebutannya pun berbeda menurut tempatnya. Namun, pertalian di antaranya tetap dapat diikuti dengan memperhatikan maksud, fungsi, makna atau konsepsi yang dibawakannya, perlambangan, serta bentuk fisiknya.

Di Tibet, sebutan bagi cetiya atau stupa adalah ch’orten, yang bermakna wadah untuk persembahan dengan berbagai ukuran dan perlambangan. Bentuknya lebih langsing daripada stupa yang umumnya lebih bulat. Ch’orten memiliki banyak tingkat dengan bangun berlainan yang masing-masing membawa perlambangan khusus. Cetiya paling rumit bentuknya dan dikenal dunia adalah Borobudur. 

Di dalamnya dijumpai berbagai bentuk dan ukuran stupa. Borobudur bersama cetiya di Mendut dan Pawon menbentuk tiga serangkai. Akhir-akhir ini di Indonesia, istilah cetiya sering dipakai untuk menyebut tempat ibadah agama Budha yang dikontraskan terhadap vihara. Perbandingannya pada kepemilikan, besar-kecilnya tempat, ragam fungsi tempat, serta pengunjung tempat ibadah tersebut. Cetiya biasanya dianggap di bawah vihara. Tetapi penggunaan istilah Mahacetiya (cetiya besar) pada beberapa tempat ibadah dan pemakaian cetiya bagi tempat ibadah yang setaraf atau lebih besar daripada vihara biasa, Berkaitan dengan pengindonesiaan nama tempat-ibadah, sebutan cetiya atau vihara adalah alternative pengganti yang banyak dipakai. 

Penerapan ini dengan mengabaikan asal-usul arti dan fungsi tempat ibadah itu sebelumnya, sebab kebanyakan tempat ibadan inj dibawa ke Indonesia oleh perantau Cina yang umumnya umat awam yang kurang memperdulikan kemurnian ajaran selama apa yang dianut mampu memberi berkah. [1]

2.      VIHARA
Vihara memiliki tempat-tempat sebagai berikut: Baktisala, dharmasala, tempat tinggal Bhikkhu.
Dewasa ini kata “vihara” sudah memiliki varian cara penulisan yang baru, yaitu “wihara”. Cara penulisan yang manakah yang benar yang sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia yang benar? Bagi saya sendiri, kalau kata tersebut berdiri sendiri maka saya akan menulis “wihara”. Tetapi terhadap nama wihara yang sudah ada, saya tetap akan menggunakan “vihara” kalau memang sejak awal namanya sudah ditulis demikian. Bukankah nama orang tidak boleh sembarangan diubah-ubah? Misalnya “Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya”.

Mengapa saya condong menuliskannya sebagai “wihara”? Karena saya sering menjumpai orang melafalkan “vihara” sebagai “fihara” bukan “wihara”. Dan memang kalau menurut kaidah bahasa Indonesia, “vihara” seharusnya dibaca sebagai “fihara” bukan “wihara”. Tidak semua umat Buddha tahu bahwa “vihara” seyogianya dibaca “wihara”, apalagi yang bukan umat Buddha.

Ada sejumlah umat bersikukuh mempertahankan penulisan “vihara” karena menurut mereka istilah Pali perlu dipertahankan sebagaimana aslinya dan juga secara internasional sudah dikenal luas. Tentu saja tidak jadi masalah kalau tetap mau mempertahankan penulisan “vihara”, cuma seyogianya ditulis sebagai “vihāra” karena penulisan dalam bahasa Pali yang benar seharusnya demikian. Dan juga perlu ditulis dalam bentuk miring (italik). Karena menurut kaidah bahasa Indonesia, kata-kata asing yang diselipkan di dalam paragraf bahasa Indonesia harus ditulis miring. Kalau “vihāra” sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia sehingga baik pengucapan maupun penulisannya pun sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, menjadi “wihara”, maka tidak perlu ditulis dalam bentuk miring.

Memang menurut kaidah penyerapan bahasa asing seharusnya ditulis sebagai “vihara” (dan dibaca sebagai “fihara”1)  namun karena di kalangan umat Buddha sudah sering diucapkan sebagai “wihara” (cara pelafalan yang betul secara internasional) sehingga sebaiknya ditulis sebagai “wihara” saja. Dan juga sejak dulu cara penyerapan istilah Sansekerta ke dalam Bahasa Indonesia selalu mengikuti kaidah ‘pengucapan’ bukan ‘penulisan’. Misalnya –van[t] menjadi –wan (guṇavant menjadi gunawan), prajña menjadi pradnya, dan lain sebagainya.

Satu lagi, kalau tetap mau mempertahankan istilah “vihāra”, maka nama suatu wihara misalnya “Vihara Padumuttara” harus ditulis sebagai “Padumuttara-Vihāra” bukan “Vihāra-Padumuttara”. Seyogianya disesuaikan pula dengan kaidah tata bahasa Pali. Demikian pula “Vimala-Chanda-Ārāma”, bukan “Ārāma-Vimala-Chanda”.

Terhadap istilah “Buddha” atau “bhikkhu”, ada baiknya tetap mempertahankan bentuk aslinya karena: (1) dewasa ini kita di Indonesia sudah mulai menerapkan cara baca paritta yang sesuai dengan tanda baca sehingga pelafalan “Bud-dha” atau “bhik-khu” seyogianya bukan hal yang asing atau sulit lagi. Lagi pula dalam bahasa Indonesia tidak ada larangan penggunaan konsonan rangkap, bahkan ada daerah tertentu misalnya Sulawesi Selatan yang bahasa daerahnya banyak mengandung kata-kata konsonan rangkap (misalnya ‘gappa’, ‘bakka’, ‘battang’, dan lain sebagainya); (2) konsonan berbunyi letup juga dapat ditemukan dalam kata-kata bahasa Indonesia misalnya ‘khusus’, ‘khawatir’; (3) sungguh janggal kalau “paritta” ditulis sebagai “parita”, “metta” sebagai “meta”, bhikkhu-bhikkhu ditulis sebagai biku-biku (artinya menjadi lain, silakan buka Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi IV).

Bahasa adalah sesuatu yang hidup dan dinamis. Walaupun ada kaidah-kaidah yang diciptakan untuk mengaturnya namun tetap saja ada sejumlah pengecualian. Kalau penggunaanya tetap mempertahankan bentuk tertentu maka kenyataan itulah yang harus diterima. Contoh konkret adalah kata “Buddha” sendiri. Kalau tidak salah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi II masih menggunakan istilah ‘Buda’ atau ‘Budha’, tidak ada kata ‘Buddha’. Tetapi karena umat Buddha bersikukuh menggunakan istilah ‘Buddha’ sehingga akhirnya dalam edisi III dan IV Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘Buda’ atau ‘Budha’ sudah dihilangkan, diganti dengan ‘Buddha’.

Ada sejumlah orang bersikukuh menulis “bhikkhu” sebagai ‘biku’ karena menurut mereka istilah ‘wiku’ sudah sejak lama dikenal di masyarakat Jawa oleh karena itu gunakan saja istilah yang sudah ada (sudah mengindonesia). Perlu disadari bahwa ‘wiku’ di kalangan tertentu sudah mengalami distorsi makna (ke arah negatif) karena faktor sejarah sehingga kalau ‘biku’ tetap dipertahankan maka akan terimbas pula makna negatifnya. Demikian juga sesungguhnya istilah ‘wihara’ sudah ada bentuk Indonesianya yaitu ‘biara’. Namun karena ‘biara’ sudah memiliki nuansa makna lain sehingga sebaiknya tetap gunakan saja istilah ‘wihara’ sebagai tempat ibadah umat Buddha. Hal yang sama dapat diterapkan terhadap “saṃsāra” di mana bentuk serapannya dalam bahasa Indonesia adalah ‘sengsara’. Namun lagi-lagi sudah berubah dari maknanya yang asli oleh karena itu sebaiknya tetap gunakan saja “saṃsāra” atau terjemahannya.

Itulah sekelumit pendapat saya tentang cara penulisan sejumlah istilah yang diserap dari Bahasa Pali ke dalam Bahasa Indonesia. Saya tidak berpretensi mewakili otoritas tertentu oleh karena itu pendapat saya seyogianya hanya diperlakukan sebagai salah satu rujukan saja. [2]

3.      MAHAWIHARA / ARAMA
Mahavihara atau arama lebih besar daripada vihara. Sarana mahavihara lebih lengkap daripada vihara. memiliki ruang ruang puja bakti untuk umum, Dhammasala, Uposatha, Kuti (tempat tinggal para bhikhu/bhikhuni), ruang pembacaan peraturan para Bhikkhu, ruang petahbisan Bhikkhu, perpustakaan, dan taman yang luas. 

Taman ini biasanya digunakan sebagai tempat meditasi bagi bikhu di ruang terbuka. Kebanyakan Vihara maupun Arama mengabungkan ruang sembayang untuk umum dengan ruang Dhammasala. Jika yang lebih besar bangunannya. Ada yang memisahkan ruangnya. Dhammasala biasanya berfungsi sebagai tempat berceramah dharma selain puja bakti.

4.      CANDI
Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan keagamaan tempat ibadahpeninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha. Bangunan ini digunakan sebagai tempat pemujaandewa-dewi ataupun memuliakan Buddha. Akan tetapi, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-Buddha Indonesia klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya, juga disebut dengan istilah candi.

Candi merupakan bangunan replika tempat tinggal para dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung Mahameru. Karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa pola hias yang disesuaikan dengan alam Gunung Mahameru. Candi-candi dan pesan yang disampaikan lewat arsitektur, relief, serta arca-arcanya tak pernah lepas dari unsur spiritualitas, daya cipta, dan keterampilan para pembuatnya.

Beberapa candi seperti Candi Borobudur dan Prambanan dibangun amat megah, detil, kaya akan hiasan yang mewah, bercitarasa estetika yang luhur, dengan menggunakan teknologi arsitektur yang maju pada zamannya. Bangunan-bangunan ini hingga kini menjadi bukti betapa tingginya kebudayaan dan peradaban nenek moyang bangsa Indonesia.[3]

Sumber:   [1] (http://arti-definisi-pengertian.info/pengertian-cetiya/)
[2] https://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=18019.0  
[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Candi


Comments

Popular posts from this blog

HARMONIA - KENANGAN HATI LIRIK+CHORD

LEEYONK SINATRA - SING MEJUDUL LIRIK+CHORD

HARMONIA - BAHAGIAKU ITU KAMU LIRIK+CHORD